Mencari Sinar
Friday, December 12, 2008
"PENGORBANAN DEMI KETAATAN"
Hari raya Aidil Adha telah sehari kita langkahi, namun suasananya masih lagi terasa. Hari raya Korban itulah nama timangannya. Istilah korban penuh bermakna namun adakah kita menghayatinya? Untuk apa dan siapakah kita berkorban dan bagaimankah membentuk jiwa yang sanggup berkorban.
Kesabaran demi ketaatan
Mengimbas kembali dari pengorbanan Nabi Ibrahim. Seabad kehidupan Ibrahim penuh dengan perjuangan, gerakan, jihad dan perang melawan kebodohan kaumnya, kemusyrikan, penindasan Namrudz dan kefanatikan manusia-manusia penyembah berhala. Ibrahim bersama isterinya Sarah -Wanita cantik tapi tidak memberinya anak- tinggal di rumah Azar, bapaknya yang juga salah seorang penyembah dan pembuat berhala, fanatik.
Ibrahim makin tua dan kesepian. Walaupun berada di puncak kenabiannya, namun ia adalah seorang manusia biasa. Seperti manusia lainnya, ia menginginkan seorang anak. Apalagi usianya kian senja. Ia tidak berpengharapan, kerana menurut pertimbangan akal sederhana pun perkara itu tak mungkin. Ibrahim hanya dapat mendambakan dalam do’anya:
"Ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang soleh.
" (Ash-Shaffat : 100).
Allah SWT akhirnya melimpahkan kurniaNya kepada lelaki tua yang telah menghabiskan seluruh hidup dan kehidupannya, serta menanggung penderitaan demi menyebarluaskan risalahNya. Melalui wanita bernama Hajar, Allah SWT memberinya seorang anak; Ismail. Sebagaimana firmanNya:
"Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar."
(Ash-Shaffat: 101)
Ismail adalah anak yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya. Kelahirannya telah didambakan selama hampir seratus tahun dan diluar perkiraan ayahnya. Ismail tumbuh bagaikan batang pohon yang mekar. Ia mendatangkan keceriahan dan kebahagiaan ke dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, kecintaan dan buah hati Ibrahim. Akan tetapi, tanpa diduga-duga wahyu Allah SWT turun memerintahkan untuk menyembelih Ismail.
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, lbrahim berkata : "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu" (Ash-Shaffat: 102)
Betapa goncangnya jiwa Ibrahim ketika menerima wahyu yang luar biasa beratnya ini. Duka nian hatinya. Tetapi wahyu itu adalah perintah Allah : perintah menyembelih Ismail —buah hatinya. Konflik pun terjadi dalam batinnya. Siapakah yang lebih disayanginya Allah ataukah anaknya? Mengikuti perintah Allah atau menuruti perasaan manusiawinya untuk menyayangi anaknya? Ibrahim menghadapi dua pilihan : mengikuti perasaan hatinya dengan menyelamatkan Ismail atau mentaati perintah Allah SWT dengan ‘mengorbankannya’. la harus memilih satu di antara dua. Seandainya yang diperintahkan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri, maka tidaklah sulit baginya menentukan pilihan. Walaupun demikian, dengan keteguhan hati Ibrahim lebih mendahulukan perintah Allah SWT dan mengorbankan rasa sayang pada anaknya.
Kilasan kisah Nabi Ibrahim tadi memberikan suri tauladan bahawa saat perintah dan hukum Allah SWT datang di mana pun dan bila, apapun harus dikorbankan. Perintah Allah di atas segala-galanya. Sebab mentaati perintah dan aturan Allah jauh lebih maslahat dibandingkan dengan menuruti perasaan dan hawa nafsu.
Korbankan "Ismail"mu !
Kaum muslimin memang harus berkorban. Tetapi apa dan untuk siapa "korban" itu? Apa yang jelas tidak seperti yang dimaksud dalam contoh sebuah kalimat berita yang sering memenuhi media massa. "Penduduk Palestin menjadi korban kekejaman Yahudi". Jelas, kaum muslimin tidak boleh berkorban (dalam erti kata menjadi korban kejahatan seperti pembunuhan tadi). Sebab, kata Nabi SAW. hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.
Demikian pula "berkorban" bukanlah untuk menghalang-halangi tingginya agama dan aturan Allah SWT. Sebab hal tersebut merupakan perbuatan orang kafir dan munafik sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang kafir yang selalu membelanjakan harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah, maka mereka tetap membelanjakannya kemudian (harta yang dibelanjakan) itu menyebabkan penyesalan kepada mereka, tambahan pula mereka dikalahkan dan (ingatlah) orang-orang kafir itu (akhirnya) dihimpunkan dalam Neraka Jahanam." (Al-Anfal : 36)
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah berhakim kepada hukum Al-Quran yang telah diturunkan oleh Allah dan kepada hukum Rasulullah, nescaya engkau melihat orang-orang munafik itu berpaling serta menghalang (manusia) dengan bersungguh-sungguh daripada menghampirimu." (An-Nisa 61)
Sebaliknya, berkorban dilakukan dalam rangka mencintai Allah SWT seperti yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim a.s. Dalam memahami apa dan untuk apa seorang muslim melakukan pengorbanan, ada baiknya kita perhatikan firman Allah SWT di bawah ini:
"Katakanlah (wahai Muhammad): Jika bapa-bapa kamu dan anak-anak kamu dan saudara-saudara kamu dan isteri-isteri (atau suami-suami) kamu dan kaum keluarga kamu dan harta benda yang kamu usahakan dan perniagaan yang kamu bimbang akan merosot, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, (jika semuanya itu) menjadi perkara-perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (daripada) berjihad untuk agamaNya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusanNya (azab seksaNya); kerana Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (derhaka). (At-Taubah : 24)
Ayat di atas meletakkan keluarga, kaum kerabat, harta pemilikan, tanah air, dan tempat tinggal pada satu sisi serta cinta kepada Allah dan Rasul yakni beriman kepada Allah dan Rasul, taat kepadaNya dan jihad fi sabilillah pada sisi yang lain. Apabila memungkinkan digabungkan antara kedua sisi tersebut iaitu apabila seorang muslim mampu menggabungkan antara cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul serta jihad fi sabilillah dengan kaum kerabat, keluarga dan harta maka tidak menjadi kesalahan untuk melakukannya. Namun, apabila terdapat sesuatu yang mengharuskan mengambil salah satu diantaranya maka seorang muslim sejati akan mengutamakan taat kepada Allah, Rasul dan jihad serta rela mengorbankan segala sesuatu selainnya. Ia rela mengorbankan segala-galanva demi ketaatan kepada Sang Pencipta. Imam lbnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 11/242-243) dalam menafsirkan ayat ini menghubungkannya dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia berkata bahawa Umar bin Khaththab berkata kepada Rasulullah : "Demi Allah, ya Rasul. Sungguh engkau paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri" Seraya Rasulullah bersabda: "Tidaklah seseorang beriman sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri." Maka Umar pun berkata: "Demi Allah, aku lebih mencintai engkau daripada diriku sendiri."
Juga Rasulullah SAW bersabda:
"Demi jiwaku yang ada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang beriman sehingga ia lebih menyintaiku daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia"
(HR Bukhari)
Lebih jauh, Imam lbnu Katsir menyebutkan bahawa pengertian "...maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya" adalah tunggulah ‘azab dan balasan apa yang akan ditimpakan kepada kalian. ‘Azab dan balasan ini mencakupi ‘azab di dunia dan akhirat. Sebab, berlutut kepada perhiasan dunia seperti harta, anak-anak dan keluarga dengan meninggalkan jihad akan mendatangkan kehinaan kepada kaum muslimin sesuai dengan sunnatullah seperti yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin dewasa ini, serta mereka akan ditimpa siksa Allah SWT di akhirat disebabkan meninggalkan syariat Allah SWT, tidak mencintatiNya dan mengikuti hawa nafsu.
Ancaman tersebut merupakan indikasi tentang wajibnya mengorbankan segala sesuatu demi ketaatan kepada Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah. Imam Zamakhsyari menyebut dalam Tafsir Al-Kasysyaf : "Ayat ini ayat paling tegas. engkau tidak akan melihat ayat yang lebih tegas darinya" Jelaslah, pengorbanan hanya dalam rangka ketaatan untuk itu ‘Ismail’ apapun siap dan sanggup dikorbankan. Siapakah atau apakah ‘Ismail’mu itu? ‘Ismailmu adalah setiap sesuatu yang melemahkan imanmu. Setiap sesuatu yang menghalangimu menuju taat, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengarkan perintah Allah dari menyatakan kebenaran, setiap kenikmatan yang membuat engkau terlena, setiap segala sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggungjawab. Korbankan ‘lsmail’mu!
Usaha Menyemai Jiwa Berkorban
Bagi sesiapa saja yang mengkhendaki memiliki jiwa berkorban secara minimun harus memiliki perkara-perkara di bawah:
Pertama: meyakini aqidah Islamiyah dengan keyakinan yang jazim (pasti) disertai dengan pengamalan bukan sekadar di bibir. Ertinya meyakini aqidah terniasuk meyakini bahawa Allahlah Pemberi rezeki. Dialah Penolong, Dialah yang Menghidupkan dan Mematikan. Bila memiliki hal ini tentu hidup tidak akan diliputi sifat pengecut serta penuh kekhawatiran. Selain itu, meyakini bahawa Allah Maha Besar dan yang lain kecil tak bererti jika dibandingkan denganNya. Dengan demikian, bila hal ini menunjangi di dada nescaya seorang muslim tidak gentar menghadapi segala ancaman, tentangan, hambatan dan gangguan terhadap Islam. Allah SWT berfirman:
"...Tidak patut kamu takut kepada mereka (sehingga kamu tidak mahu memeranginya) kerana Allah jualah yang berhak kamu takuti (melanggar perintahNya), jika betul kamu orang-orang yang beriman?" (Al-Taubah: 13)
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan orang-orang Saabiin dan orang-orang Nasrani, sesiapa sahaja di antara mereka yang beriman kepada Allah (dan segala RasulNya meliputi Nabi Muhammad s.a.w) dan (beriman kepada) hari akhirat serta beramal soleh, maka tidaklah ada kebimbangan (dari berlakunya kejadian yang tidak baik) terhadap mereka dan mereka pula tidak akan berdukacita"
(Al Maidah 69)
Kedua: Memahami bahawa syariat Islam pastinya akan memberikan kebahagiaan bagi manusia seluruhnya. Namun, syarat tercapainya kebahagiaan tersebut adalah taqwa kepada Allah SWT dan mengikuti segala hukumNya. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
"Dan orang yang takut akan keadaan dirinya di mahkamah Tuhannya (untuk dihitung amalnya), disediakan baginya dua Syurga".(Ar-Rahman :46)
Iaitu satu di dunia dan yang lain di akhirat (lihat catatan kaki pada Al-Quran & Terjemahannya)
Sebaliknya sesiapa yang tidak mengikuti aturan Allah SWT mereka jauh dari kebahagiaan sejati. Firman Allah SWT:
"Turunlah kamu berdua dari Syurga itu, bersama-sama, dalam keadaan setengah kamu menjadi musuh bagi setengahnya yang lain; kemudian jika datang kepada kamu petunjuk dariKu, maka sesiapa yang mengikut petunjukKu itu nescaya dia tidak akan sesat dan dia pula tidak akan menderita azab sengsara. Dan sesiapa yang berpaling ingkar dari ingatan dan petunjukKu, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta". (Thaha :123-124)
Jelaslah, taqwa kepada Allah merupakan syarat kebahagiaan. Ertinya. aturan Allah merupakan buah hati (Qurrata a’yun) bagi orang yang bertaqwa, sedangkan bagi yang tidak bertaqwa tidaklah demikian. Oleh kerana itu, seseorang mukmin akan bahagia dengan melaksanakan Islam, sedangkan mereka yang tidak bertaqwa tidak demikian. Bila hal ini dimiliki seorang muslim nescaya ia rela berkorban demi aturan Allah kerana disitulah letaknya kebahagiaan. Sebab, semua pengorbanan yang ia lakukan —dalam melaksanakan aturan Allah— adalah untuk mencapai keredhaan Allah SWT. Sedangkan makna kebahagiaan bagi seorang muslim yang bermabda’(Ideologi) Islam adalah mendapatkan redha Allah.
Ketiga: Akhirat lebih baik dari dunia.
"Sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia" (Ad Dhuha:4)
Oleh karena itu, himmah dan perhatian seorang muslim tidak lain adalah akhirat. Bukan bererti ia melupakan dunia dan beruzlah ke puncak-puncak gunung. Tidak. Uzlah adalah paduan antara sifat pengecut dan putus asa. Seorang muslim yang cinta kepada Allah harus terjun ke kancah kehidupan dengan bekal iman, jiwa, istiqamah dan pemahaman yang jernih tentang konsepsi hidup lslam, membongkar segala faktor perosak kehidupan masyarakat dan membangun kehidupan dengan konsepsi yang benar, sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Meskipun demikian, semua yang ia lakukan dalam medan kehidupan dunia itu adalah dalam rangka meraih kejayaan di akhirat kelak. Ia memahami firman Allah SWT:
"Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu (keperluan dan bekalanmu) dari dunia dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian nikmatNya yang melimpah-limpah) dan janganlah engkau melakukan kerosakan di muka bumi; sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerosakan." ( Al Qashash 77).
Keempat: Menjauhi hubbud dun ya, iaitu hati terpaut hanya kepada dunia. Kerana kecintaan dan perhatiannya yang luar biasa kepada akhirat. Ia tidak menyisakan untuk dunia sepotong cinta pun. Kalaupun ada bahagian-bahagian dari dunia yang harus dia cintai, itu semata-mata untuk mencapai kesempurnaan cintanya kepada akhirat. Hal ini hendaknya disedari oleh individu muslim lantaran kehidupan yang sejati hanyalah kehidupan akhirat, sedangkan kehidupan dunia hanyalah menumpang belaka. Lebih dari itu, kecintaan terhadap dunia (hubbud dunya) dan pasangannya iaitu takut mati (karahiyatul maut) adalah penyakit yang membahayakan kewujudan umat ini dan menjadi salah satu sebab dihinakan dan diperlecehkan umat ini oleh bangsa-bangsa dan umat lain.
Kelima: Terikat erat dengan ajaran Islam. Dengan terikat kepada syari’at Islam yang merupakan rahmatan Iil ‘alamin ( Al Anbiya’ :107), pengorbanan seorang muslim mempunyai ganjaran berganda. Pertama, akan menjadi pahala baginya. Kedua, akan menimbulkan kesejahteraan hidup umat manusia, di mana dia berserta anak cucunya akan turut merasakan pula.
Dengan lima butir pengertian yang sudah menghunjam dalam diri seorang muslim, ia akan rela, senang hati, bahkan menikmati pengorbanan dalam bentuk apapun yang ia berikan agar tertegaknya kalimah Allah dalam segala aspek kehidupan. Jiwa dan semangat berkorban seperti inilah yang diperlukan oleh tiap-tiap muslim hari ini, agar dia segera bergabung dengan barisan penegak kebenaran melawan barisan pembawa kebatilan yang senantiasa membuat ‘kejahatan’ dan ‘kemaksiatan’ terhadap Islam. Allah SWT pun akan senantiasa bersama pejuang penegak kalimatNya dalam menghadapi pembela kekufuran dan kesesatan. Allah berfirman:
"Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu . Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya"(Ali Imran 54).
~Wallahu ‘alam~
http://members.tripod.com/ISLAMIKA/aj/pengorbanan.htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment